Bangunlah teman-teman, orang inspiratif itu ada di sekitarmu jika kau mau membuka mata! Sahabatmu sendiri, orang yang bukan siapa-siapamu, atau bahkan orang yang tidak kau suka justru bisa meng-inspirasi. Tapi Alhamdulillah, orang-orang yang akan Saya share kisah hidupnya ini, adalah orang-orang yang memang sudah Saya kenal dekat.
Aldrin Ali Hamka
Pertama Saya akan ceritakan profil singkatnya, Aldrin atau dulu biasa Saya panggil Dindin adalah teman sejak SMP. Waktu SMP, tepatnya SLTP N 1 Malang, kami sekelas di kelas 1E dan 3E. Dia duduk di belakang bangku Saya. Tubuhnya tinggi dengan badan agak membungkuk. Aldrin tidak banyak bicara, tapi bukan berarti pendiam. Dia tidak menonjol, tapi cukup ringan tangan. Begitu SMA, kami satu sekolah lagi di SMA 4 Malang. Dia aktif di ekskul PA (Pecinta Alam) Kantata Stetsa (Horeeee berhasil ingat nama KANTATA setelah beberapa detik lupa) dan menjadi Ketua-nya. Semasa SMA ia dipanggil 'Tonggik' oleh teman-teman, ih jahat bener sih. Tapi Saya memilih tetap memanggilnya dengan Aldrin atau biasanya Dindin. Lalu dia kuliah di FE, kalau tidak salah jurusan Manajemen.
Suatu hari, kaget dan ikut senang tentunya, ketika Saya membaca notes seorang teman yang juga sahabat karib Aldrin, yakni Nepo, bahwa ternyata Aldrin akan segera berangkat ke Rusia mendapat beasiswa. Subhanallah, luar biasa!
Saya ingat ketika berangkat sekolah ke SMA 4, Saya selalu dibonceng motor oleh kakak atau pun naik angkot atau pun diantar mobil, dan Saya hampir selalu melihat Aldrin berlari di daerah Dinoyo. Dan setelah membaca tulisannya ini, baru tahun kalau rumahnya di derah Dau (haaahhh lari dari Dau sampai Tugu?!!). Cuma satu kalimat : Dia memang pantas mendapatkan pencapaiannya saat ini.
Dari Gununglah Inspirasi itu Bermula
by: Aldrin Ali Hamka
Tak dapat disangkal,
gunung dan pendakian adalah unsur-unsur yang dapat membentuk karakter
seseorang. Gunung adalah tujuannya, sedangkan pendakian adalah usaha seorang
pendaki untuk menggapai tujuannya, yaitu puncak gunung itu sendiri. Pada
mulanya, setiap orang yang baru saja mencoba naik gunung akan sering mengeluh dengan
melontarkan kata-kata klise semacam “capek!”, “panas sekali!”, “jauh banget!”,
“kapan sampainya?” dan lain sebagainya. Tak jarang pula akhirnya menyerah, atau
bahkan menyesal untuk meneruskan perjalanan.
Setapak demi
setapak. Selangkah, dua langkah, tiga langkah dan demikian seterusnya.
Sepanjang perjalanan itu, pendaki akan menemui kayu-kayu penghalang, jurang
yang mengintai, angin dingin yang mencengkram, badai yang meluluhlantakkan, dan
bahkan bisa juga tersesat di hutan. Semua itu ujian yang harus dilalui oleh
pendaki gunung. Ujian yang bukan main-main, penuh resiko.
Susah dan jerih-payah akan terbayarkan ketika pendaki gunung itu telah meraih
puncaknya. Terbayarkan oleh indahnya lautan awan yang menghampar, indahnya mutiara
kelap-kelip kota sejauh pandangan kita, hutan hijau yang membersihkan paru-paru,
dan sajian-sajian yang lain. Semua itu adalah nikmat. Nikmat, karena dapat menikmati
ayat-ayat kauniyah Allah SubhanAllahu wa Ta’ala yang luar biasa bagi orang-orang
yang mau merenung dan berpikir.
Satu, dua, tiga kali pendaki itu pasti akan merindukan suasana luar
biasa. Mau tidak mau, dia pasti akan menempuh ujian-ujian itu lagi.
Saya teringat suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wassalam
bersabda:
“Sesungguhnya Uhud adalah satu
gunung yang mencintai kami dan kami juga mencintainya.”
Demikianlah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam mencintai gunung. Di
sanalah titik perjuangan Beliau dan para syuhada yang gugur untuk cinta
sejatinya, cinta kepada Allah SubhanAllahu wa Ta’ala.
Pendaki gunung bijakpun mencintai gunung,
karena disanalah dia betul-betul akan merasa kecil dihadapan-Nya. Pengalaman
dihantam kengerian badai, mengkerut
dicengkeram dingin, mendidih di bawah bara matahari. Di gunung pendaki tak akan
menaklukkan apapun. Bukan puncak gunung, bukan terjangan badai itu. Pendaki
bijak akan mengetahui, bahwa dia sesungguhnya dia menaklukkan diri sendiri.
Pernah suatu ketika
seorang kakak kelas SMA yang sangat menginspirasi dan memberi banyak pelajaran
tentang pendakian gunung memotong sebuah artikel di koran dan diberikannya
padaku. Potongan artikel itu merujuk pada buku karangan Paul G. Stoltz yang
berjudul Adversity Quotient yang
membagi karakter manusia menjadi tiga, antara lain:
1. Quitters , yakni orang-orang melihat
gunung, kemudian meninggalkannya. Dia melihat gunung sebagai sesuatu yang
besar, dan berisi halangan rintangan dan jurang mengerikan. Mereka
meninggalkannya dan tak ingin mencoba.
2. Camper. Orang-orang yang mendaki gunung
pula. Tetapi ditengah perjalanan itu dia berhenti membuka tenda. Dia merasa
cukup sampai disitu, dan tidak ingin melanjutkan hingga ke puncaknya.
3. Climber adalah seorang pendaki yang melihat
halangan rintangan dan jurang sebagai tantangan. Dia tak akan berhenti. Dia
akan terus mendaki dan mendaki hingga sampai ke puncak tujuannya.
Di balik artikel itu, kakak
kelas yang juga seorang sahabat baik saya menuliskan komentar di selembar kertas
binder saya. Dua kalimat terakhir yang paling membekas dalam ingatan adalah;
“Kejar terus obsesimu!”
“Kejar terus obsesimu!”
“Jadilah climber!”
Sejak itulah hidup ini
berubah. Para sahabat, pendakian, dan gunung adalah inspirasi saya. Gunung
telah mendidik kami menjadi pribadi yang keras, pantang menyerah dalam
menghadapi rintangan dan cobaan, menghargai hidup sebagai karunia Ilahi,
menjadi pribadi yang sederhana, dan masih banyak lagi yang tak dapat dijelaskan
dengan kata-kata.
Hidup adalah petualangan.
Seperti di dalam pendakian.
Pendaki akan mengalami kepuasan jiwa jika mendaki setapak demi dari kaki gunung
ke puncak. Semua tiada yang instan. Saya bersyukur karena dilahirkan dari
keluarga yang pas-pasan. Dengan demikian, perjuangan itu akan terasa nikmat.
Lebih-lebih dapat menggapai apa yang diinginkan.
Barangkali, semasa SMA,
teman-teman sekolah berangkat-pulang sekolah di dalam mobil mewah ber AC atau
sepeda motor. Namun saya bersyukur masih memiliki dua kaki untuk berlari dari
Dau-Sengkaling ke SMA tugu.
Barangkali, semasa SMA juga teman-teman seusiaku diberi uang saku lebih untuk jajan dan beli ini itu. Saya “akali”, agar dapat mendaki gunung saya membeli tumpukan koran-koran bekas teman-teman, kemudian saya jual lagi di rombengan. Pernah juga menjadi kuli membantu tukang memperbaiki rumah. Setiap malam membantu Ibu membuat adonan kue roti dan nagasari, yang mana keesokan harinya kami jual ke toko-toko. Meski itu tak lama.
Barangkali, semasa SMA juga teman-teman seusiaku diberi uang saku lebih untuk jajan dan beli ini itu. Saya “akali”, agar dapat mendaki gunung saya membeli tumpukan koran-koran bekas teman-teman, kemudian saya jual lagi di rombengan. Pernah juga menjadi kuli membantu tukang memperbaiki rumah. Setiap malam membantu Ibu membuat adonan kue roti dan nagasari, yang mana keesokan harinya kami jual ke toko-toko. Meski itu tak lama.
Semasa kuliah, di saat matahari
menyengat atau hujan deras turun, mungkin para mahasiswa sedang asyik
makan-makan di kantin, atau sedang istirahat. Di saat itu pula saya mencari dan
menyabit rumput di sudut-sudut kota untuk memberi pakan kambing-domba yang kami
gembala. Pernah juga diselimuti asap dan dibuntal debu-debu keliling Malang-Tumpang,
berjualan pulsa dan makanan ringan.
Begitulah, tiada kata
berhenti untuk mendaki hingga ke puncak. Puncak itu adalah mimpi setiap
pendaki.
Hingga saat inipun, saya terus
mendaki ke puncak mimpi-mimpi. Mimpiku yaitu menyelesaikan studi di Rusia.
Disini, bukan berniat untuk menjadi “wah” karena bersekolah di luar negeri. Tetapi Rusia adalah
mimpi sejak belasan tahun yang sejak dahulu ingin saya tunaikan. Sejak usia SD.
AlhamduLillah, Allah
Ta’ala - Sang Pengabul Doa memenuhi.
Meski demikian, bukan berarti meraih mimpi terus bersantai-santai.
Berjalan-jalan plesir seperti mahasiswa lain berkantong tebal pada umumnya. Di
sini saya mendapatkan tantangan, membiayai hidup sendiri. Di sini, tidak perlu
malu walaupun dahulu pernah menjadi buruh pabrik tirai. Sekarangpun menjadi tukang
loper koran dan reklame, yang menghabiskan waktu dari pagi hingga sore.
Setelahnya, saya lanjutkan hari itu pula dengan kuliah.
Dari sini pula saya belajar untuk menghargai pekerjaan apapun orang lain. Terutama pekerjaan yang jauh-jauh lebih sederhana. Apapun itu, yang penting halal.
Dari sini pula saya belajar untuk menghargai pekerjaan apapun orang lain. Terutama pekerjaan yang jauh-jauh lebih sederhana. Apapun itu, yang penting halal.
Hidup adalah karunia
yang patut disyukuri. Tidak ada yang perlu dikeluhkan dengan apa yang telah di
dapat, karena masih banyak orang-orang yang tak seberuntung kita.
Hidup, sudah
selayaknya diisi dengan perjuangan.
Berjuang, mendaki
menuju puncak-puncak mimpi.
Sungguh luar biasa hebat kawanku yang satu ini, yang aku ingat adalah keringan tanganan dan ketekunanya.....
BalasHapusserta perangainya yang adem, gak neko-neko , sederhana...
Memang betul kata orang yang sebelumnya telah berhasil ,
bahwa semua berawal dari mimpi...
kawanku yang satu ini lebih memilih untuk berlari maju dengan peluh ketimbang harus mengeluh...
terimakasih sahabat, terutama mbak Asih yang sudah membantu menorehkan kisah hebat sahabat kita Aldrin....
bangga dadi konco mendaki gunung pertamanya bro..
BalasHapuspanderman, hahaha