Mereka Bernama Abdul Hafizh dan Hasan
Anggaplah
dia bernama Abdul Hafidz. Hari itu tanggal 26 Januari 2010, Saya ada di Cibogo
Bogor, di Udiklat PLN sedang melatih Prajab PLN angkatan 16 bersama tim MHMMD
lainnya. Hari itu adalah hari terakhir kami di Cibogo setelah tiga hari pertama
sejak tanggal 22 Januari kami melatih Prajab jenjang S1, dan tiga hari
berikutnya terhitung sejak tanggal 24 Januari kami melatih Prajab D3.
Hari
ketiga adalah sesi sharing, beberapa Prajab dipersilah kan untuk maju ke dapan,
dan mengungkapkan apa yang dirasakannya selama mengikuti pelatihan kami,
terutama setelah sesi Goal Setting alias sesi Muhasabah di malam harinya.
Bebarapa Prajab maju, dan dengan tegarnya mereka menceritakan apa yang mereka
rasakan tiga hari ini, dan terutama setelah semalam dibuat menangis oleh
renungan kami. Setelah maju lima
orang Prajab, berikutnya tidak ada yang mengacungkan tangannya lagi. Lalu Saya
teringat semalam... Tanggal 26 Januari dini hari itu, saat muhasabah, Saya
sengaja mengintip kelas tempat kami meninggalkan para Prajab merenung. Kami
panitia di luar ruangan, meninggalkan para Prajab bergelap gulita hanya dengan
sepotng lilin di ruangan kelas, dengan sound yang memadai, kami membacakan
puisi dan renungan-renungan lainnya dari luar kelas. Saat itu Saya sengaja
mengintip, karena mendengar satu-dua orang suara yang menangis terguguk. Saya penasaran, ini suara tangisan laki-laki, tapi siapa
yang menangis se-menyayat ini... Dari tangisan yang seperti ini Saya menangkap
rasa sesal yang mendalam, bukan tangisan yang takut karena kami memberi
perenungan tentang kematian, bukan pula tangisan sedih karena kami memberi
perenungan tentang orang tua... tapi lebih dari itu.. ini adalah tangisan yang
keluar dari hati yang rindu pada Tuhannya, lalu dia menyesal karena pernah
melalaikan Tuhannya...Sok tau sekali Saya ya... tapi itulah yang Saya tangkap
malam itu. Setelah gagal mengintip lewat pintu kelas yang terbuka sedikit, Saya
pun mengintip lewat jendela kelas, dan Saya temukan laki-laki yang menangis itu
tepat di depan jendela tempat Saya mengintip, (sekali lagi) anggaplah namanya
Abdul Hafizh. Selain itu, di depan Abdul Hafizh, adapula yang sesenggukan
menangis dengan jenis tangisan seperti dia, anggaplah namanya Hasan.
Rasa penasaran itu terus mengusik hingga pagi. Setelah
lima orang Prajab maju dan mengungkapkan apa yang dirasakannya selama tiga hari
ini, Saya belum menemukan Abdul Hafizh maupun Hasan maju ke depan pagi itu.
Lalu Saya memberanikan di untuk maju ke meja pelatih, dan membisiki asisten
pelatih, ”Teh (panggilan ’mbak’ untuk orang Sunda), semalam waktu Saya ngintip,
yang nangisnya paling kenceng itu Hafizh, juga Hasan. Coba minta mereka
maju...”. Asisten Pelatih yang Saya panggil ’Teteh’ itu pun mengangguk,
kemudian menawarkan Abdul Hafizh untuk maju ke depan dan menceritakan apa yang
ia rasakan.
Majulah Abdul Hafizh... Saya pun tetap duduk di depan
menuntaskan rasa penasaran Saya dengan mendengarkan baik-baik apa yang ia
ceritakan... kurang lebih seperti ini jika Saya olah dengan bahasa Saya
sendiri...
”Saya, semalam... ketika muhasabah... teringat akan masa
lalu Saya... Dulu, Saya ada di lingkungan yang buruk, Saya terpengaruh
lingkungan Saya, Saya nyandu...” katanya terbata-bata dengan suara bergetar
membendung air mata yang hendak tumpah. Di saat yang sama, ketika seisi
mendengarkan kisah Hafizh ini, di kursinya Hasan menangis sesenggukan, tanpa
suara. Berkali-kali ia seka air matanya.
”Sampai suatu ketika, Saya diajak untuk ikut sebuah
pengajian rutin oleh teman Saya di Daruut Tauhid, Bandung. Saya pun ikut, dan
dari sana... Saya belajar lebih mendalami agama ini. Di sana, hati Saya
dibukakan Allah, Saya sadar Saya salah, Saya dosa.. Ketika diingatkan tentang
orang tua, terutama Ibu.. Saya jadi teringat padanya, pada nasehat-nasehatnya.
Ibu Saya adalah orang yang selalu berpesan bahwa kita bisa mati sewaktu-waktu.
Ibu di rumah, di lemarinya, sudah menyiapkan selembar kain kafan untuk dirinya.
Katanya, supaya tidak perlu membeli kain kafan lagi kalau suatu saat nanti
beliau meninggal...”
Hasan di kursinya masih saja terus menangis, sampai
Hafizh menyelesaikan ceritanya dan duduk kembali ke tempatnya.
Teteh kemudian memanggil Hasan, dan menawarkan pada Hasan
untuk mau menceritakan apa yang dirasakannya pada kami. Tapi Hasan malah
menunduk dan terus menangis. Hasan tidak mau... padahal selama tiga hari ini,
Hasan terhitung peserta yang paling aktif maju, bertanya dan memimpin
teman-temannya, dia juga menjadi ketua kelompok di kelompoknya. Hasan tidak
mau, dan kami tidak tau alasannya. Tapi tangisan semalam tangisan sesal... dan
ketika Saya berkesempatan memegang riwayat hidup Hafizh dan Hasan, ternyata
mereka di kampusnya masing-masing adalah alumni Rohis.
Di tempat Saya duduk, Saya hanya bisa tersenyum melihat
Hasan, dan mendengar apa yang baru saja diceritakan Hafizh...
Sahabat Saya Hafizh... dan Hasan... entah seberapa buruk
masa jahiliyah kalian, tapi Saya hanya bisa tersenyum bersyukur... Masa lalu
Saya juga buruk, jahil, dan mari kita berterimakasih pada Allah karena Allah
masih bermurah hati memberi petunjuk-Nya pada kita, bahwa Allah masih
menancapkan pada hati kita rasa optimis tentang ampunan Allah, tentang taubat,
tentang berhijrah... sehingga itulah yang membuat kita bertahan di jalan-Nya
sampai kini. Berapa banyak mereka yang bermaksiat dan berbuat dosa, sadar penuh
bahwa itu dosa, tapi mereka masih terus melakukannya – tidak segera
meninggalkannya. Kalau Saya boleh mewakili perasaan mereka... ada suatu rasa,
yakni putus asa pada ampunan Allah. Buruk, buruk sekalian. Dosa, dosa sekalian.
Kotor, kotor sekalian...
Tidak apa... jika petunjuk Allah itu harus kita beli dengan
masa lalu yang jahiliyah, mungkin memang inilah jalan yang Allah takdirkan
untuk kita, mendapat petunjuk-Nya setelah tersesat jauh, dipanggil-Nya setelah
kita berada pada jalan yang bersebrangan dengan jalan-Nya... tapi tidak apa...
Allah Maha Berkehendak, dan punya berjuta cara untuk memberi petunjuk-Nya pada
manusia...termasuk jika kita termasuk yang diberi petunjuk-Nya dengan cara yang
Allah tetapkan...
...Sesungguhnya
Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan
diri mereka sendiri...(QS. Ar Ra’d ayat 11)
Itulah kenapa Saya sangat suka dengan aktifitas Saya yang
satu ini, Saya bisa bertemu dengan orang-orang yang meng inspirasi seperti
mereka.. Kapan-kapan Saya akan ceritakan tentang Pak Kemis, dan Bu Mimin...
Pegawai lulusan SD yang berhati emas, yang bertanggung jawab penuh atas DAPUR
Udiklat, atau sebutlah... Koki...
Semoga bermanfaat ^_^
Selesai
tanggal 5 Januari 2010 8:27 WIB