Senin, 30 Juni 2014

Aku tahu,



Aku tahu, amal-amalku tak mungkin dilakukan orang lain
Maka, aku sibukkan diri bekerja dan beramal

Aku tahu, Allah selalu melihatku

Karenanya, aku malu bila Allah mendapatiku melakukan maksiat


Aku tahu, rizkiku tak mungkin diambil orang lain
Karenanya, hatiku tenang



Aku tahu, kematian menantiku

Maka, kupersiapkan bekal untuk berjumpa Rabbku


                                                            -- Hasan Al-Basri --

Mengenang yang Pahit

Mungkin malam ini aku tak akan tidur. Jari jemariku mengenang engkau di sana yang pahit untukku. Mataku teliti melihat sejarah yang kau lalui. Lalu ada sebait cerita tentangmu yang menyakitkan hati, hingga aku mengingat dengan jelas memori mimpi malam itu yang membuatku menangis dini harinya. Hari itu, adalah titik balik bagiku, setelah mimpi itu...

Taukah, malam itu entah kapan, aku bermimpi... Mungkin mimpi ini petunjuk, karena toh setelah mimpi itu, aku semakin mencari pelarian cemasku, hanya pada Robb... Karena toh, pasca mimpi itu, aku memastikan diri, aku akan menerima laki-laki pertama... laki-laki pertama... sebagai jawaban dari pelarian cemasku. Ya, pasca mimpi itu, aku sangat cemas jika ternyata tidak denganmu.

Malam itu mimpi buruk bagiku. Aku masih mengingatnya dengan jelas, ketika aku mendengar kabar bahwa kau akan menjadi milik - dan memiliki orang lain, dan itu bukan aku. Padahal, padahal itu hanya mimpi, namun dini harinya aku terbangun dengan hati yang cemas. Duhai Robb, tenangkan jiwaku...

Empat musim telah berlalu, empat lailatul qadar mengubur tentangmu dalam-dalam, jauh-jauh. Jika kini kubuka sedikit, aku hanya ingin mengenangnya - yang pahit untukku.

Pagi itu aku terbangun dengan doa. Ya Robb, jangan biarkan hatiku memilih sesuatu yang tak berhak kupilih. Aku tak ingin punya pilihan. Aku ingin terbang melesat hingga setanpun tak mampu menyusulku. Aku tak ingin ada pada pilihan menolak - karunia yang Kau berikan, meski aku tak suka. Aku tak ingin punya pilihan untuk apapun dan siapapun. Aku manut ya Robb... Aku serahkan hatiku yang remuk redam, aku serahkan hatiku yang hitam, aku serahkan tinggi-tinggi untuk Kau tentukan, Kau titahkan. Aku akan menurut Ya Robb...

Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan?

Ya Robb, aku tau titah-Mu adalah yang sempurna,

Jumat, 11 April 2014

DREAM BOOK

Alam hati luasnya melebihi jagad raya, tak terbatas ruang dan waktu. Kau bisa pada detik ini berada pada masa lalu, kemudian dalam sekejap berada pada masa depan sesuai harapanmu. Masa lalu disebut kenangan. Masa depan disebut angan-angan. Silahkan kau pilih, menjadi pengkhayal, atau pemimpi... 

Bermimpi itu sesuatu yang indah nan gratis tak berbayar... Tidak perlu berpikir panjang tentang apa impian kita, karena yang disebut impian itu adalah keinginan spontan yang tak bisa diatur. 

Tak ada yang tak mungkin bagi Allah, kita bisa mencapai apa pun bersama Allah Yang Maha Kuasa. Hanya saja, jangan kecewa jika apa yang menjadi impian kita bukanlah takdir yang Allah tentukan untuk kita. 

Jika tercapai bukanlah karena kehebatan kita, tetapi karena Allah yang menentukan, bertambah dalamlah sujud syukur kita pada-Nya,

Apa beda dengan pengkhayal? 
Dalam pandangan Saya, pengkhayal mungkin agak berkonotasi negatif. Pertama, berkhayal adalah membayangkan sesuatu yang sudah terlewati tetapi masih ia impikan. Misalnya, seorang sarjana tehnik ingin kuliah sastra. Kedua, berkhayal sesuatu yang sifatnya kotor/jorok. ketiga, berkhayal sesuatu yang tidak mungkin, misalnya bisa terbang, bisa menghilang. hehe...

Namun, pengkhayal dalam bab ini adalah pemimpi yang tak melangkahkan ikhtiarnya seiring dengan impian-impiannya. Misalnya, ingin menjadi penghapal Al Qur'an, tapi tak pernah menambah hafalannya. Ini keterlaluan, apa impiannya, apa pula usahanya. 

Apa pentingnya DREAM BOOK?
Impian, memberi kekuatan tersendiri ketika kita tuliskan daripada hana ada di angan-angan.
Bagi Saya, menuliskan impian adalah penguatan diri untuk bersyukur lebih dalam ketika suatu waktu impian tersebut terwujud. Kita menjadi sangat ingat bahwa kita memang pernah benar-benar memimpikannya dan kemudian berikhtiar, lalu Allah mengabulkannya. Lagipula, menuliskan beribu-ribu impian itu meng-asyik-kan, indah nan gratis. 

Beberapa impian yang tak terduga terwujud adalah tentang pernikahan :)
Saya menuliskan ingin menikah di tahun 2010. Saat itu sudah di penghujung bulan Oktober tahun 2010. Lalu Allah mengirim paket kilat seorang bernama Walid Fajar Antariksa untuk menjadi suami Saya. Kami hanya  berkenalan selama 3 hari lalu menikah. Kalau dibayangkan sekarang, hehe kok mau-maunya ya Saya... tapi begitulah takdir Allah tak dapat ditolak. 

Selain itu, Saya berharap ingin menerima pinangan seorang laki-laki yang datang pertama kali melamar Saya. Bukan berarti Saya asal menerima pinangan orang. Saya hanya tidak ingin berlama-lama, tidak ingin mempunyai 'masalah' atau kenangan dengan laki-laki lain selain Suami Saya, tidak ingin ada proses yang gagal karena 'ini' - 'itu'.

Eh, jadi merembet ke sini :) intinya, banyak hal surprise  dari Allah dalam hidup Saya. Saya yakin terjadi juga pada kalian. Untuk menambah syukurmu, tuliskan saja mimpi-mimpimu, ber-ikhtiarlah sebaik-baik ikhtiar, dan tunggulah hadiah dari Allah....


Atas izin Allah, Alhamdulillah Saya sudah pernah berkunjung ke sana tahun 2008 untuk ibadah Umroh. Berada di sana, maupun Masjid Nabawi, hati ini rasanya otomatis selalu berzikir. Sama sekali, tak sedikt pun mengkhawatirkan urusan lain selain urusan - hubungan kita dengan Allah.

Sesungguhnya, semua umat sudah dipanggil berhaji, tinggal kita saja bergegas dengan panggilan itu atau tidak. Sayainginmenuntaskan rindu Saya pada Allah. Saya ingin segera berHaji dan bisa Umroh setiap waktu sesering mungkin... Uang dari mana? bermimpi saja, tak ada salahnya memiliki impian mulia.... Berdoa terus, menabung terus, berikhtiar terus...




Haji dan meng-Haji-kan, Umroh dan meng-Umroh-kan... duhai betapa Kaya dan Kuasanya Engkau ya Allah....















Bermula dari menjadi penjaga kos milik orang tua Saya, Saya ingin suatu saat bisa mendirikan pesantren sendiri. Memberi beasiswa berupa tempat tinggal gratis untuk mahasiswa/i atau pelajar yang berprestasi dan secara ekonomi kekurangan. Saya ingin tinggal di komplek pesantren tersebut. Saya juga ingin terdapat kolam renang khusus muslimah di sana.






 Saya bukan peng-koleksi buku, Saya hanya benar-benar lebih suka membeli buku daripada meminjam ke teman. Buku, menurut Saya adalah warisan tak ternilai untuk Fatih dan adik-adiknya juga keturunannya kelak. Buku itu gudang inspirasi dan motivasi. Suatu saat nanti, Saya ingin mempunyai sebuah perpustakaan yang mana buku-buku Saya bisa juga dinikmati banyak orang. Sekaligus, Saya ingin menulis buku dan mendirikan komunitas menulis macam Asma Nadia begitu... :)  Aaah, bermimpi itu alangkah indah, asyik dan seru!


Dan suatusaat punya lemari/tempat buku seperti iniiii IQRO!


kalau mimpi yang satu ini.... tentang perniagaan yang sedang Saya tekuni selama ini :) yaaa, Herbalife. Saya ingin punya mobil branding Herbalife dan Rumah Nutrisi :) 


ini mbak Prima Permatasari dan suaminya Mas Elvit yang sudah ngenalin dan ngajakin Herbalife :) Mereka sudah posisi President Team dengan area penghasilan di atas 200juta/bulan dan itu hanya ditempuh dengan perjuangan keras selama 2 tahun.. Subahnallah Barokallah mbak Prima... Uang segitu banyak jika berlimpah di tangan orang-orang sholih maka insyaAllah penggunaannya pun barokah... 
Salah satu impian Saya tentunya menjajaki tangga demi tangga karier di Herbalife. Perlahan tapi pasti, Bismillah.. :)

Kamis, 10 April 2014

Bapak dan Anak Perempuannya di Giant Dinoyo,

Berawal dari kangennya lidah ini mengicip makanan favorit - Pizza - yang mana keju mozarela lengket di atasnya, Saya lalu memutuskan untuk segera beranjak ke Giant Dinoyo, supermarket terdekat yang menjual keju mozarela. Daripada harus jajan pizza ke pizza hut, Saya lebih suka membuat pizza jadi-jadian. Roti tawar di taburi misis, telur, keju mozarela dan oregano. Cukup untuk raza pizza di lidah Saya, tidak perlu jajan mahal2 ke PizzaHut. Setelah izin pada Ayah Fatih, Saya pun ke Giant Dinoyo bersama Fatih dan Bude Saya.

Agenda belanja malam ini singkat saja. Hanya mengambil mozarela, dan beberapa belanjaan lainnya, Kami langsung menuju kasir. Singkat cerita, ketika sudah di pintu keluar dan hendak menarik Fatih dari kereta belanja yang dorong (biasanya Fatih duduk di atas kereta yang sebenarnya untuk belanjaan berbau sabun atau bahan kimia untuk memisahkan dari belanjaan makanan) - ternyata sepatu Fatih jatuh. Saya pun mengambil sepatu Fatih di dekat pintu masu, yang juga dekat Giant fried Chicken. Lalu di sanalah, perhatian Saya tercuri oleh seorang Bapak-bapak dan anak perempuannya.

Bapak itu bisa dipastikan berumur dia tas 40 tahun, memakai topi lusuh, berpakaian lusuh pula. Kaos atasannya lengan pendek terlihat agak kepanjangan dengan sandal jepit di kakinya. Kulitnya hitam dan tangannya berotot. Agaknya bisa kutebak Bapak-bapak ini mungkin seorang kuli bangunan.

Yang membuat hatiku miris, Bapak-bapak itu menatap daftar harga Giant Fried Chicken yang terpampang besar di atas, paling murah 19.600, kalau tidak salah. Mata beliau melihat dari daftar harga satu kedaftar harga yang lain di sebelahnya. Gelagatnya menunjukkan kekhawatiran. Satu tangan tersembunyi di saku celananya.

Sedangkan anak perempuannya, membawa sebungkus belanjaan dengan plastik berukuran sedang. Tak tahu apa isinya, tapi yang jelas belanjaan itu tak banyak. Jelas tak sebanyak belanjaan milikku. Anaknya berbicara - entah apa - tapi dari raut wajahnya dan gaya tubuhnya jelas sekali ia sedang merayu. Kesimpulannya jelas, dari pemandangan itu, Saya tahu sang anak sedang merayu Bapaknya untuk membeli Giant Fried Chicken.

Setelah memasang kembali sepatu Fatih, aku menggendongnya menuju tempat parkir di depan Giant. Dalam perjalanan menuju tempat parkir itu, aku masih sengaja menoleh ke belakang, melihat pemandangan itu dan penasaran apa yang terjadi selanjutnya. Apakah sang Bapak mengabulkan keinginan anaknya atau tidak.

Tolehanku yang pertama, tampak sang Bapak sepertinya menolak permintaan san anak, itu terlihat dari gerak tubuhnya yang menuju pintu keluar, meninggalkan anak perempuannya sambil menunduk, lalu menoleh lagi ke anaknya, lalu menoleh lagi ke daftar harga.

Tolehanku yang kedua, tampak sang anak dan Bapak itu sudah di luar Giant, namun berhenti tepat di depan pintu masuk Giant. Terlihat anaknya semakin merayu dari gerak tubuhnya.

Tolehanku yang ketiga : Bapak-bapak itu sedang masuk kembali ke Giant sambil terus melihat daftar harga!

Saya semakin tidak konsen, ingin benar-benar memastikan apa yangterjadi. Saya buru-buru menaikkan Fatih ke atas motor, membayar parkir, dan segera memutararah untuk bisa melihat pemandangan sang Bapak dan anak itu dari dekat. Ya, Saya mengendarai motor Saya ke arah pintu masuk. Dan benar saja, Sang Bapak sedang mengantri untuk membelikan anak perempuannya Giant Fried Chicken, lagi-lagi, masih sambil resah melihat daftar harga.

Pemandangan itu membuat Saya tak tega. Saya hampir menangis dibuatnya. Saya pun memutuskan untuk pulang.

ya Allah.Astaghfirullah...

Saya tak dapat mengungkapkan kecamuk apa yang terjadi pada hati Saya, namun mata Saya menjadi basah karenanya.

Pertama, Saya membayangkan keresahan macam apa yang dirasakan oleh Bapak-bapak itu... Tentu saja, di sisi lain ingin membuat anaknya sedang, tapi di sisi lain, ia mungkin saja tak punya uang, atau mungkin ia punya uang, tapi uang itu akan habis untuk memenuhi permintaan anaknya membeli Giant Fried Chicken itu.

Kedua, Saya ingin selalu belajar dan ber-ikhtiar menjadi Ibu dan istri yang lebih baik lagi setiap harinya. saya akan memperhatikan dalam mendidik anak-anak... Saya tidak ingin anak Saya tumbuh menjadi anak yang tidak peka... anak yang konsumtif, anak yang menjadi korban penjajahan zaman sekarang.. kita ingat tulisan Saya tentang Aldrin Ali Hamka, teman SMA Saya, ia mampu tumbuh menjadi anak yang peka dan memahami kondisi keluarganya.. Pun jika Allah melimpahkan rezeki yang banyak untuk keluarga kami, Saya tak ingin salah mendidiknya menjadi anak yang selalu terpenuhi segala keinginannya..

Ketiga, mungkin saja, Anak itu memang jarang sekali keinginannya terpenuhi, maka sekali-kali tak apalah membahagiakan dan menyenangkan anak... maka di titik ini Saya bersyukur. Teramat bersyukur. Saya tumbuh tanpa pernah merasakan sempitnya keadaan, tapi Saya pun tumbuh dan dididik oleh orangtua yang luar biasa. Yang tak selalu mengabulkan keinginan anak-anaknya, hingga meminta atau mengutarakan keinginan Saya saja - Saya tak berani. Jika itu adalah untuk keperluan akademis, orang tua Saya tak tanggung-tangung. Mulai dari laptop, kalkulator canggih, kamus digital, buku-buku, semuaaa kebutuhan akademis selalu berusaha dipenuhi, sampai diikutkan les ini itu. Tapi kalau urusan pergaulan, kami dibatasi. Baju bebas Saya bisa dihitung semasa masih pelajar. Saya hanya punya 1 baju pesta untuk foto keluarga, atau acara nikahan, sedikit baju pergi, dan beberapa baju rumahan. Saya masa remaja SMA pun bahkan  tak punya handphone pribadi, kalau pun punya sesungguhnya itu handphone milik Ibu juga.


Dalam perjalanan pulang, pikiran Saya masih terus berkecamuk... yang mana dari kesemua itu, pemandangan Bapak dan anak tadi menuju satu muara bahwa :
Bukankah dengan agama, tak ada masalah kehidupan yang tak terpecahkan? Hanya saja manusia sering dan kebanyakan lupa, ke mana mereka harus bergantung, ke mana mereka harus berjalan menuju tujuannya....


melihat dari penampilan luarnya, Bapak itu adalah seorang yang secara ekonomi berada pada tingkat ekonomi rendah, keluarganya pun bisa dikatakan tidak/kurang sejahtera. Itu ditandai juga oleh resahnya Bapak itu melihat daftar harga yang kesemuanya mahal baginya (bagi Saya juga kok).Sedangkan anaknya, tanpa mengerti berapa sisa uang Bapaknya, ia terus saja merengek meminta dibelikan Giant Fried Chicken itu. Hingga Bapak itu pun luluh tak kuasa menolak permintaan sang anak.

Maka dari situlah saya mengambil suatu kesimpulan hikmah: Bukankah dengan agama, tak ada masalah kehidupan yang tak terpecahkan?
Karena apa pun masalahnya, sebenarnya kembali pada Allah adalah jawabannya.. Masalah keuangan, masalah keluarga....

ya Allah, aku memohon pada-Mu rezeki dan hati yang lapang.... rezeki berupa keimanan, ketaqwaan, ilmu, kesehatan, usia yang panjang dan barokah, keluarga yang sakinah mawaddah wa rohmah,  rezeki berupa harta yang barokah,....


Senin, 07 April 2014

Cinta dan Pengorbanan (1)





            Pada suatu hari disaat langit mulai tertutupi oleh mendung yang sangat hitam, seorang laki-laki pergi meninggalkan rumahnya untuk membeli sebungkus nasi lalapan. Setelah sampai di warung dia memesan 1 bungkus untuk dibawa pulang. Kemudian dia membayar dan bersegera untuk pulang. Akan tetapi hujan pun turun dengan derasnya sebelum dia sampai dirumah, padahal jaraknya masih jauh. Dia berlari secepatnya dengan memasukkan bungkusan makanan tadi ke dalam bajunya agar tidak terkena air hujan. Ditengah jalan, sandal jepit yang dipakainya putus. Dia juga terkena banyak cipratan air karena banyak mobil yang tetap melaju dengan kencang dijalan. Pada akhirnya diapun sampai dirumah dengan membawa nasi bungkus didalam bajunya yang Alhamdulillah masih dalam kondisi baik, yang ternyata dia belikan untuk istri tercintanya di rumah yang sedang hamil dan menginginkan nasi lalapan tersebut.(cerita ini ana ambil dari buku “Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim”). 


Jika kita bertanya laki-laki tersebut, apa perasaannya? Apakah dia kesal, sebal pada istrinya yang sedang 'ngidam' lalapan di tengah hujan deras? Ataukah dia menggerutu karena untuk membelinya ia harus  kehujanan? Saya yakin jawaban laki-laki itu ketika ia ditanya apa perasaannya adalah - bahagia!. Hatinya penuh heroisme karena mampu mengabulkan permintaan istrinya. Dia mampu memenuhi hak istri sekaligus janin yang dikandung istrinya. Perasannya bahagia karena istrinya pun bahagia. Meskipun hujan, dingin, dan kotor yang harus ia bayar demi membeli sebungkus nasi lalapan itu, tapi ketidaknyamanan yang ia peroleh itu tak ada artinya jika dengan itu ia bisa membahagiakan istrinya. Subahnallah.

Itulah pengorbanan. Seperti halnya seorang Ibu yang harus melalui ketidaknyamanan semasa hamil dan melahirkan, namun semua itu tidak berarti begitu mendengar tangis anaknya. Seperti seorang Ayah yang lelah bekerja, namun ia harus menahan lelahnya karena di rumah anaknya menantinya untuk bermain bersama. 

Mengapakah sedemekiannya sebuah pengorbanan itu? Hingga seorang Ibu rela mati demi melahirkan anaknya ke dunia. Hingga seorang Ayah merelakan uang hasil kerjanya untuk penghidupan istri dan anaknya. Mengapakah kita rela bersusah-susah demi kebahagiaan orang yang berarti dalam hidup kita? 

Itulah yang disebut Cinta. Pengorbanan itu membayar harga cinta. Sebesar apa cintamu, kau membayarnya dengan pengorbanan.

Habiburarrahman El Shirozy memberi sedikit nasehat yang dia tuliskan di buku novel suami pada waktu acara bedah buku setahun yang lalu: ”Cinta yang suci melahirkan tindakan yang suci.”  Ya melahirkan. Karena keberadaan cinta tak akan dapat disembunyikan begitu saja. Dia akan melahirkan sebuah tindakan pengorbanan. Sebesar apa pengorbananmu, sebesar itulah cintamu.

Lalu begitu ingin Saya mengajak untuk bertanya ada diri, 

Sebesar apa cinta kita pada Allah? 

Katakanlah: "jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNYA dan dari berjihad di jalan NYA, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.

Jika kita mengaku cinta pada Allah di atas cinta dari yang lainnya, maka apakah pengorbanan yang kita lakukan lebih besar dari pengorbanan pada yang lainnya?

Atau, jangan dulu sampai pada pertanyaan itu, mulailah dari pertanyaan: apa yang sudah kita bayarkan sebagai bukti cinta kita pada Allah? 


Kamis, 03 April 2014

Dari Buku Dream and Pray, bagusss

Saya meyakini bahwa sebuah  pertemuan bisa mengubah hidup seseorang. Apalagi, jika kita kita dipertemukan dengan orang yang akan menjadi bagian terpenting dalam hidup kita di masa depan. Seseorang yang biasa disebut oleh banyak orang dengan istilah jodoh.
Saat masuk SMA, saya bertekad untuk tidak berpacaran. Kalau harus menyukai seorang gadis, saya harus yakin bahwa ia adalah wanita yang kelak menjadi istri saya, teman hidup saya. Kalau saya belum yakin, saya akan menutup hati rapat-rapat.
Pada hari perrtama masuk SMA, semua murid dikumpulkan di lapangan basket sekolah. Seorang kakak kelas memberi tahu bahwa saya masuk barisan 1-3. Saya pun bergerak menuju barisan yang dimaksud. Wajah-wajah yang saya tidak kenal memenuhi barisan itu. Saya berdiri paling depan membuat saya sulit mengenali wajah-wajah asing dibelakang.
Hingga akhirnya, saat ada kesempatan menoleh ke belakang dan mencoba mengamati teman-teman satu barisan, saya melihat seorang gadis berjilbab panjang yang sangat menarik hati. Keanggunan tergambar dari teduh tatap matanya, keindahan tampak dari seulas senyum simpulnya.
Bergetar hati saya. Itu hanya seperkian detik, tapi cukup membuat  dunia saya seakan berhenti berputar. Matahari yang ada di puncak langit seakan enggan turun ke cakrawala. Awan yang berarak pelan seakan memilih diam di tempatnya. Seumur hidup belum pernah saya merasakan saat-saat seperti itu. Seperkian detik yang hingga kini dan selamanya akan selalu saya kenang.
Saya berhasil melewati hari yang paling berbeda dalam hidup saya itu tanpa banyak masalah. Namun, keesokan harinya, perasaan yang tak biasa tiba-tiba datang. Kadang sangat senang, kadang sangat cemas. Kadang merasa tenang, tapi lebih sering terlihat blingsatan. “ Ya Allah, kok gini ya? Perasaan saya kok jadi aneh ya?” saya bertanya-tanya dalam hati. Celakanya, gadis yang membuat posisi jantung saya seakan tertukar dengan paru-paru itu harus saya lihat lagi. Lagi dan lagi, setiap hari, karena kami ternyata satu kelas.
Nia Agustini nama gadis itu. Setelah perrtemuan pertama di lapangan basket, hati saya sering tiba-tiba bertanya,”Apa dia orangnya?” Pertanyaan yang aneh untuk anak seusia saya waktu itu. Pelan tapi pasti, perilaku saya berubah, tepatnya tidak lagi ‘natural’. Ya. Harus saya akui, entah mengapa saya merasa selalu ingin menarik perhatiannya. Mencuri-curi pandang dan diam-diam memperhatikan. Dan, meski belum kenal, saya caper tetrus-terusan. Ketika masih orientasi siswa baru, saya sebenarnya sudah caper. Berbekal pengalaman jadi vokalis band waktu SMP, saya nyanyi di depan anak-anak satu kelompok, berharap dapat sedikit perhatian dari gadis cantik incaran saya. Tapi sia-sia. Dia sangat cuek.
Mamat Hidayatullah, teman yang pertama saya kenal di kelas kemudian menjadi sahabat yang paling menyenangkan untuk tempat curhat, berkomentar ketika tahu gelagat orang kasmaran dalam diri saya. “ Perempuan yang berjilbab kayak gitu mah sukanya sama anak pinter, soleh, baik. Bukan pokalis ben kayak kamu! Rambut acak-acakan, baju dikeluarkan.”
Kuping saya seperti tersengat lebah hutan. Tapi, itu ada benarnya. Akhirnya saya memutuskan untuk berubah. Saya ingin jadi orang yang lebih baik. Kalau diingat-ingat, mungkin ini yang dibilang motivator-motivator dengan istilah memantaskan diri.
Meski niatnya salah (maklum, waktu itu saya masih terbelakang soal agama), saya mencoba jadi anak yang baik seperti saran sahabat saya itu. Saya pun memberanikan diri untuk mengambil formulir Rohis. Ya, vokalis band ini daftar jadi anak Rohis. Saya masih ingat, waktu saya datang ke ruangan  Rohis, ketuanya kaget bukan main. Angin mana yang membawa saya ‘nyasar’ hingga memilih jadi anak Rohis?! Tapi, pas hari pertama kegiatan Rohis saya ikuti, benar ternyata firasat saya. Gadis incaran saya juga masuk Rohis. Yess!!!
Proses pemantasan diri itu saya jalani dengan penuh semangat. Terbayang di benak saya bisa mengambil hati gadis berjilbab itu. Di kelas, saya jadi anak yang paling aktif bertanya (biar kelihatan pintar), kegiatan Rohis tidak perrnah bolos, bahkan saya suka menginap di rumah ketuanya(biar jadi anak saleh), ngeband tetap jalan, tapi sambil coba-coba berrnasyjid ria (biar tetap exis). Pokoknya, waktu itu saya jadi anak ‘ heperaktif’. Padahal, pas SMP saya biasa-biasa saja, sama sekali tidak aktif dalam kegiatan apapun, malah tukang bikin ribut di kelas (ini namanya aktif juga gak ya?).
Tak terasa setelah setahun proses pemantasan diri saya jalani, terjadi perubahan besar yang saya tidak sadari. Saya yang tidak pernah juara kelas jadi rangking satu di kelas, tidak hanya sekali, tapi tiga caturwulan berturut-turut. Malah, kebiasaan juara satu ini keterusan sampai kelas tiga. Saya juga semakin sering terlihat di masjid. Shalat jama’ah slalu saya ikuti, majlis taklim tak pernah ketinggalan . kegiatan apapun yang diadakan Rohis bisa tidak sah kalau tidak saya hadiri (hehee, becanda!).  Meski  begitu, kegiatan saya ngeband tetap berjalan, tapi dengan sedikit penyesuaian.
Saya menikmati semua yang saya lakukan, sambil berharap dia tertarik pada saya. Tapi, dia memang orang super cuek yang pernah saya tahu. Itu membuat saya semakin penasaran. Saya lalu shalat istikharah, dan  hasilnya saya semakin yakin dia memang jodoh saya. Namun anehnya, tak berrselang lama hati saya dilanda ketakutan. Karena merrasa ingin segera memiliki, saya takut terjebak dalam cinta yang salah. Saya sadar, saya harus bisa mengendalikan perrasaan.
Saya sangat bersyukur dengan perubahan yang terjadi dalam diri saya. Saya punya image baru. Saya dikenal sebagai anak yang pintar, aktif berorganisasi, dan vokalis band. Lengkap. Waktu itu, saya saya sudah bisa menciptakan lagu sendiri dan saya nyanyikan di sekolah. Bebebrapa lagu bahkan ada yang menyabet  juara dalam perlombaan, meski kebanyakan lagu cinta. Namun, pelan-pelan saya  memutuskan stop main band. Saya ingin fokus mendirikan grup nasyjid, karena saya merasa sudah lebih baik dalam memahami ajaran Isalm. Saya mulai mengenal Islam dengan baik, menikmati kedekatan dengan Allah, dan saya pun makin aktif dalam kegiatan Rohis. Puncaknya, saya dicalonkan sebagai ketua Rohis. Celakanya , saya terpilih.
Saat menjadi ketua Rohis, saya semakin dengan kegiatan keislaman. Dan alhamdulillah, saat saya siberi amanah menjadi ketua, Rohis sekolah kami mendapat predikaat Rohis terbaik se-kabupaten.  Itu adalah pertama yang sangat membanggakan bagi Rohis sekolah kami, karena sebelumnya belum pernah kami mendapat predikat semacam itu.
Saat kelas dua, saya pernah memberanikan diri menyampaikan perasaan saya kepada gadis itu. Saya yakin, kalau hanya menyampaikan perasaan sih boleh-boleh saja . saya juga sampaikan bahwa  saya punya niat yang serius denangan maksud itu. Saatnya nanti, saya ingin menikahi dia. Kalau ingat hal itu, saya ingin tertawa sendiri. Anak sekecil itu, berani-beraninya.
Memantaskan diri di mata gadis itu sudah saya lakukan. Yang saya lupakan adalah memantaskan diri di hadapan Allah. Astagfirullah.. Di titik kesadaran itu, saya tertunduk malu dan menangis memohon ampunan kepada-Nya.
Waktu berlalu. Tak terasa, sampailah saya di penghujung masa sekolah . alhamdulillah, kami berdua lulus. Saya kembali memberranikan diri untuk berrbicara serius tentang masa depan kepadanya. Sebab, saya  memutuskan untuk kuliyah di Bandung, sedangkan dia di Jakarta. Keputusan kami, kami berdua harus salingmengikhlaskan. Belum saatnya menikah,l belum pasti juga kapan saya berani meminang. Dia belum siap menikah, begitu juga saya. Jadi, tidak ada komitmen apapun. Artinya, kami tidak perlu merasa terikat, tidak perlu saling mengunggu. Kalau di Jakarta dia bertemu jodoh dan menikah tidak masalah. Dan, jika saya di Bandung berrtemu gadis lain dan berjodoh juga tidak mengapa. Tak ada komitmen yang harus kami pegang. Benar-benar saling melepaskan.
“Ya Allah, aku sangat yakin bahwa janjiMu adalah benar, bahwa rencana-Mulah yang terbaik. Jika dia jodohku, jaga dia dalam kebaikan, dan perrtemukan kami kembali di waktu yang tepat untuk bersatu. Jika dia bukan jodohku, aku yakin Kau sudah mempersiapkan seseorang yang lebih baik untukku.” Demikian doa saya saat itu. Bagaimanapun, saya tetap mencintai dia. Hanya saja,  saya merasa cinta saya lebih tulus dan ikhlas.
Saat masih baru tinggal di Bandung , saya sering membaca doa ini, sambil membersihkan hati dari remah-remah kotoran yang tersisa. Alhamdulillah, beberapa bulan tinggal di Kota Kembang itu, saya sudah nyaman dengan segala aktivitas saya. Tahun kedua dan ketiga kuliyah, saya benar-benar sudah melupakannya. Apalagi, aktivitas saya semakin menumpuk: bisnis kecil-kecilan untuk menutup biaya kuliah, jadi ketua organisasi di Kampus, nyanyi  dan menulis lagu, dan mengajar prestasi  akademik biar dapat beasiswa. Alhamdulillah, semua bisa saya lakukan dengan baik. Saking senangnya dengan Bandung dan aktivitas saya kala itu, pernah saya berfikir mencari calon istri di Bandung saja. Saya memang berniat nikah muda. Jadi, saya mencoba membuka hati pada siapa pun. Bumi  Allah kan luas. Hehee. Kalaupun di masa lalu ada harapan, harapan sudah saya ikhlaskan.
Selama tinggal di Bandung, saya sering meminta  ibu agar didoakan, dimintakan kelancaran dalam semua hal, termasuk urusan jodoh.  Ibu saya ahli tahajud. Saya yakin doa beliau disepertiga malam terakhir didengar oleh Allah.
Suatu hari, di tengah aktivitas saya yang padat, saya menerima SMS dari seseorang : Nia Agustini. Jantung saya seakan melompat keluar! Seseorang  dari masa lalu kembali. Wanita yang pernah saya sangat kagumi itu mengaku menemukan kontak saya melalui friendster (facebook atau twitter belum lahir, ketahuan deh kira-kira umur saya berapa). Kami lalu saling kontak via handphone. Saat itu, say sudah di penghujung masa kuliah dan kebetulan belum menemukan seseorang yang saya yakini bisa menjadi istri yang saleha. Begitu juga dia, belum menemukan seseoarang yang bisa membuatnya yakin untuk menjalani hidup bersamanya.
Inilah skenario Allah. Hanya Dia yang bisa menjaga hati seperti itu..
Setelah lulus kuliah, saya beranikan diri untuk mengungkapkan kembali niat lama yang pernah saya katakan kepadanya.”Saya ingin kamu menjadi istri saya, ibu dari  anak-anak saya nantinya.” Doa kami terjawab. Kami akhirnya dipersatukan oleh Allah dan menikah pada tanggal 18 Oktober 2008,tepat saat usia 23 tahun. 
( Bayu Aditya, Bandung ) #Kutipan Dari buku Dream and Pray.

Curhat

https://soundcloud.com/motivasinger/curhat


Mencinta manusia sangat melelahkan
Terkadang menyakitkan hati yang terdalam
Bila kau sadari semua terjadi bila engkau jauh dariNya
Mencintai Allah kan bahagiakanmu
Kan menyejukanmu dan membesarkanmu
Bila kau sadari cinta yang suci
Hanya datang dari rahmatNya
Cinta yang Abadi, Cinta yang Sejati....
Reff :
Hanya pada Allah sajalah...
Akan kuserahkan cintaku
Akan kuserahkan hidupku
Curahkan hati padaMu...
Tak kan mampu aku berpaling (darimu)
Walau hanya untuk sesaat
Terima hamba selalu dekat
denganMu...