Saya meyakini bahwa sebuah pertemuan bisa mengubah hidup seseorang.
Apalagi, jika kita kita dipertemukan dengan orang yang akan menjadi bagian
terpenting dalam hidup kita di masa depan. Seseorang yang biasa disebut oleh
banyak orang dengan istilah jodoh.
Saat masuk SMA, saya bertekad untuk tidak
berpacaran. Kalau harus menyukai seorang gadis, saya harus yakin bahwa ia
adalah wanita yang kelak menjadi istri saya, teman hidup saya. Kalau saya belum
yakin, saya akan menutup hati rapat-rapat.
Pada hari perrtama masuk SMA, semua murid
dikumpulkan di lapangan basket sekolah. Seorang kakak kelas memberi tahu bahwa
saya masuk barisan 1-3. Saya pun bergerak menuju barisan yang dimaksud. Wajah-wajah
yang saya tidak kenal memenuhi barisan itu. Saya berdiri paling depan membuat
saya sulit mengenali wajah-wajah asing dibelakang.
Hingga akhirnya, saat ada kesempatan menoleh
ke belakang dan mencoba mengamati teman-teman satu barisan, saya melihat
seorang gadis berjilbab panjang yang sangat menarik hati. Keanggunan tergambar
dari teduh tatap matanya, keindahan tampak dari seulas senyum simpulnya.
Bergetar hati saya. Itu hanya seperkian detik,
tapi cukup membuat dunia saya seakan
berhenti berputar. Matahari yang ada di puncak langit seakan enggan turun ke
cakrawala. Awan yang berarak pelan seakan memilih diam di tempatnya. Seumur
hidup belum pernah saya merasakan saat-saat seperti itu. Seperkian detik yang
hingga kini dan selamanya akan selalu saya kenang.
Saya berhasil melewati hari yang paling
berbeda dalam hidup saya itu tanpa banyak masalah. Namun, keesokan harinya,
perasaan yang tak biasa tiba-tiba datang. Kadang sangat senang, kadang sangat
cemas. Kadang merasa tenang, tapi lebih sering terlihat blingsatan. “ Ya Allah,
kok gini ya? Perasaan saya kok jadi aneh ya?” saya bertanya-tanya dalam hati.
Celakanya, gadis yang membuat posisi jantung saya seakan tertukar dengan
paru-paru itu harus saya lihat lagi. Lagi dan lagi, setiap hari, karena kami
ternyata satu kelas.
Nia Agustini nama gadis itu. Setelah
perrtemuan pertama di lapangan basket, hati saya sering tiba-tiba
bertanya,”Apa dia orangnya?” Pertanyaan yang aneh untuk anak seusia saya waktu
itu. Pelan tapi pasti, perilaku saya berubah, tepatnya tidak lagi ‘natural’.
Ya. Harus saya akui, entah mengapa saya merasa selalu ingin menarik
perhatiannya. Mencuri-curi pandang dan diam-diam memperhatikan. Dan, meski
belum kenal, saya caper tetrus-terusan. Ketika masih orientasi siswa baru, saya
sebenarnya sudah caper. Berbekal pengalaman jadi vokalis band waktu SMP, saya
nyanyi di depan anak-anak satu kelompok, berharap dapat sedikit perhatian dari
gadis cantik incaran saya. Tapi sia-sia. Dia sangat cuek.
Mamat Hidayatullah, teman yang pertama saya
kenal di kelas kemudian menjadi sahabat yang paling menyenangkan untuk tempat
curhat, berkomentar ketika tahu gelagat orang kasmaran dalam diri saya. “
Perempuan yang berjilbab kayak gitu mah sukanya sama anak pinter, soleh, baik.
Bukan pokalis ben kayak kamu! Rambut acak-acakan, baju dikeluarkan.”
Kuping saya seperti tersengat lebah hutan.
Tapi, itu ada benarnya. Akhirnya saya memutuskan untuk berubah. Saya ingin jadi
orang yang lebih baik. Kalau diingat-ingat, mungkin ini yang dibilang
motivator-motivator dengan istilah memantaskan diri.
Meski niatnya salah (maklum, waktu itu saya
masih terbelakang soal agama), saya mencoba jadi anak yang baik seperti saran
sahabat saya itu. Saya pun memberanikan diri untuk mengambil formulir Rohis.
Ya, vokalis band ini daftar jadi anak Rohis. Saya masih ingat, waktu saya
datang ke ruangan Rohis, ketuanya kaget
bukan main. Angin mana yang membawa saya ‘nyasar’ hingga memilih jadi anak
Rohis?! Tapi, pas hari pertama kegiatan Rohis saya ikuti, benar ternyata
firasat saya. Gadis incaran saya juga masuk Rohis. Yess!!!
Proses pemantasan diri itu saya jalani dengan
penuh semangat. Terbayang di benak saya bisa mengambil hati gadis berjilbab
itu. Di kelas, saya jadi anak yang paling aktif bertanya (biar kelihatan
pintar), kegiatan Rohis tidak perrnah bolos, bahkan saya suka menginap di rumah
ketuanya(biar jadi anak saleh), ngeband tetap jalan, tapi sambil coba-coba
berrnasyjid ria (biar tetap exis). Pokoknya, waktu itu saya jadi anak ‘
heperaktif’. Padahal, pas SMP saya biasa-biasa saja, sama sekali tidak aktif
dalam kegiatan apapun, malah tukang bikin ribut di kelas (ini namanya aktif
juga gak ya?).
Tak terasa setelah setahun proses pemantasan
diri saya jalani, terjadi perubahan besar yang saya tidak sadari. Saya yang
tidak pernah juara kelas jadi rangking satu di kelas, tidak hanya sekali, tapi
tiga caturwulan berturut-turut. Malah, kebiasaan juara satu ini keterusan
sampai kelas tiga. Saya juga semakin sering terlihat di masjid. Shalat jama’ah
slalu saya ikuti, majlis taklim tak pernah ketinggalan . kegiatan apapun yang
diadakan Rohis bisa tidak sah kalau tidak saya hadiri (hehee, becanda!). Meski
begitu, kegiatan saya ngeband tetap berjalan, tapi dengan sedikit penyesuaian.
Saya menikmati semua yang saya lakukan, sambil
berharap dia tertarik pada saya. Tapi, dia memang orang super cuek yang pernah
saya tahu. Itu membuat saya semakin penasaran. Saya lalu shalat istikharah,
dan hasilnya saya semakin yakin dia
memang jodoh saya. Namun anehnya, tak berrselang lama hati saya dilanda
ketakutan. Karena merrasa ingin segera memiliki, saya takut terjebak dalam
cinta yang salah. Saya sadar, saya harus bisa mengendalikan perrasaan.
Saya sangat bersyukur dengan perubahan yang
terjadi dalam diri saya. Saya punya image baru. Saya dikenal sebagai anak yang
pintar, aktif berorganisasi, dan vokalis band. Lengkap. Waktu itu, saya saya
sudah bisa menciptakan lagu sendiri dan saya nyanyikan di sekolah. Bebebrapa
lagu bahkan ada yang menyabet juara
dalam perlombaan, meski kebanyakan lagu cinta. Namun, pelan-pelan saya memutuskan stop main band. Saya ingin fokus
mendirikan grup nasyjid, karena saya merasa sudah lebih baik dalam memahami
ajaran Isalm. Saya mulai mengenal Islam dengan baik, menikmati kedekatan dengan
Allah, dan saya pun makin aktif dalam kegiatan Rohis. Puncaknya, saya
dicalonkan sebagai ketua Rohis. Celakanya , saya terpilih.
Saat menjadi ketua Rohis, saya semakin dengan
kegiatan keislaman. Dan alhamdulillah, saat saya siberi amanah menjadi ketua,
Rohis sekolah kami mendapat predikaat Rohis terbaik se-kabupaten. Itu adalah pertama yang sangat membanggakan
bagi Rohis sekolah kami, karena sebelumnya belum pernah kami mendapat predikat
semacam itu.
Saat kelas dua, saya pernah memberanikan diri
menyampaikan perasaan saya kepada gadis itu. Saya yakin, kalau hanya
menyampaikan perasaan sih boleh-boleh saja . saya juga sampaikan bahwa saya punya niat yang serius denangan maksud
itu. Saatnya nanti, saya ingin menikahi dia. Kalau ingat hal itu, saya ingin
tertawa sendiri. Anak sekecil itu, berani-beraninya.
Memantaskan diri di mata gadis itu sudah saya
lakukan. Yang saya lupakan adalah memantaskan diri di hadapan Allah.
Astagfirullah.. Di titik kesadaran itu, saya tertunduk malu dan menangis
memohon ampunan kepada-Nya.
Waktu berlalu. Tak terasa, sampailah saya di
penghujung masa sekolah . alhamdulillah, kami berdua lulus. Saya kembali
memberranikan diri untuk berrbicara serius tentang masa depan kepadanya. Sebab,
saya memutuskan untuk kuliyah di
Bandung, sedangkan dia di Jakarta. Keputusan kami, kami berdua harus
salingmengikhlaskan. Belum saatnya menikah,l belum pasti juga kapan saya berani
meminang. Dia belum siap menikah, begitu juga saya. Jadi, tidak ada komitmen
apapun. Artinya, kami tidak perlu merasa terikat, tidak perlu saling mengunggu.
Kalau di Jakarta dia bertemu jodoh dan menikah tidak masalah. Dan, jika saya di
Bandung berrtemu gadis lain dan berjodoh juga tidak mengapa. Tak ada komitmen
yang harus kami pegang. Benar-benar saling melepaskan.
“Ya Allah, aku sangat yakin bahwa janjiMu
adalah benar, bahwa rencana-Mulah yang terbaik. Jika dia jodohku, jaga dia
dalam kebaikan, dan perrtemukan kami kembali di waktu yang tepat untuk bersatu.
Jika dia bukan jodohku, aku yakin Kau sudah mempersiapkan seseorang yang lebih
baik untukku.” Demikian doa saya saat itu. Bagaimanapun, saya tetap mencintai
dia. Hanya saja, saya merasa cinta saya
lebih tulus dan ikhlas.
Saat masih baru tinggal di Bandung , saya
sering membaca doa ini, sambil membersihkan hati dari remah-remah kotoran yang
tersisa. Alhamdulillah, beberapa bulan tinggal di Kota Kembang itu, saya sudah
nyaman dengan segala aktivitas saya. Tahun kedua dan ketiga kuliyah, saya
benar-benar sudah melupakannya. Apalagi, aktivitas saya semakin menumpuk:
bisnis kecil-kecilan untuk menutup biaya kuliah, jadi ketua organisasi di
Kampus, nyanyi dan menulis lagu, dan
mengajar prestasi akademik biar dapat
beasiswa. Alhamdulillah, semua bisa saya lakukan dengan baik. Saking senangnya
dengan Bandung dan aktivitas saya kala itu, pernah saya berfikir mencari calon
istri di Bandung saja. Saya memang berniat nikah muda. Jadi, saya mencoba
membuka hati pada siapa pun. Bumi Allah
kan luas. Hehee. Kalaupun di masa lalu ada harapan, harapan sudah saya
ikhlaskan.
Selama tinggal di Bandung, saya sering
meminta ibu agar didoakan, dimintakan
kelancaran dalam semua hal, termasuk urusan jodoh. Ibu saya ahli tahajud. Saya yakin doa beliau
disepertiga malam terakhir didengar oleh Allah.
Suatu hari, di tengah aktivitas saya yang
padat, saya menerima SMS dari seseorang : Nia Agustini. Jantung saya seakan
melompat keluar! Seseorang dari masa
lalu kembali. Wanita yang pernah saya sangat kagumi itu mengaku menemukan
kontak saya melalui friendster (facebook atau twitter belum lahir, ketahuan deh
kira-kira umur saya berapa). Kami lalu saling kontak via handphone. Saat itu,
say sudah di penghujung masa kuliah dan kebetulan belum menemukan seseorang
yang saya yakini bisa menjadi istri yang saleha. Begitu juga dia, belum
menemukan seseoarang yang bisa membuatnya yakin untuk menjalani hidup
bersamanya.
Inilah skenario Allah. Hanya Dia yang bisa
menjaga hati seperti itu..
Setelah lulus kuliah, saya beranikan diri
untuk mengungkapkan kembali niat lama yang pernah saya katakan kepadanya.”Saya
ingin kamu menjadi istri saya, ibu dari
anak-anak saya nantinya.” Doa kami terjawab. Kami akhirnya dipersatukan
oleh Allah dan menikah pada tanggal 18 Oktober 2008,tepat saat usia 23
tahun.
( Bayu Aditya, Bandung ) #Kutipan Dari buku Dream and Pray.