Senin, 07 April 2014

Cinta dan Pengorbanan (1)





            Pada suatu hari disaat langit mulai tertutupi oleh mendung yang sangat hitam, seorang laki-laki pergi meninggalkan rumahnya untuk membeli sebungkus nasi lalapan. Setelah sampai di warung dia memesan 1 bungkus untuk dibawa pulang. Kemudian dia membayar dan bersegera untuk pulang. Akan tetapi hujan pun turun dengan derasnya sebelum dia sampai dirumah, padahal jaraknya masih jauh. Dia berlari secepatnya dengan memasukkan bungkusan makanan tadi ke dalam bajunya agar tidak terkena air hujan. Ditengah jalan, sandal jepit yang dipakainya putus. Dia juga terkena banyak cipratan air karena banyak mobil yang tetap melaju dengan kencang dijalan. Pada akhirnya diapun sampai dirumah dengan membawa nasi bungkus didalam bajunya yang Alhamdulillah masih dalam kondisi baik, yang ternyata dia belikan untuk istri tercintanya di rumah yang sedang hamil dan menginginkan nasi lalapan tersebut.(cerita ini ana ambil dari buku “Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim”). 


Jika kita bertanya laki-laki tersebut, apa perasaannya? Apakah dia kesal, sebal pada istrinya yang sedang 'ngidam' lalapan di tengah hujan deras? Ataukah dia menggerutu karena untuk membelinya ia harus  kehujanan? Saya yakin jawaban laki-laki itu ketika ia ditanya apa perasaannya adalah - bahagia!. Hatinya penuh heroisme karena mampu mengabulkan permintaan istrinya. Dia mampu memenuhi hak istri sekaligus janin yang dikandung istrinya. Perasannya bahagia karena istrinya pun bahagia. Meskipun hujan, dingin, dan kotor yang harus ia bayar demi membeli sebungkus nasi lalapan itu, tapi ketidaknyamanan yang ia peroleh itu tak ada artinya jika dengan itu ia bisa membahagiakan istrinya. Subahnallah.

Itulah pengorbanan. Seperti halnya seorang Ibu yang harus melalui ketidaknyamanan semasa hamil dan melahirkan, namun semua itu tidak berarti begitu mendengar tangis anaknya. Seperti seorang Ayah yang lelah bekerja, namun ia harus menahan lelahnya karena di rumah anaknya menantinya untuk bermain bersama. 

Mengapakah sedemekiannya sebuah pengorbanan itu? Hingga seorang Ibu rela mati demi melahirkan anaknya ke dunia. Hingga seorang Ayah merelakan uang hasil kerjanya untuk penghidupan istri dan anaknya. Mengapakah kita rela bersusah-susah demi kebahagiaan orang yang berarti dalam hidup kita? 

Itulah yang disebut Cinta. Pengorbanan itu membayar harga cinta. Sebesar apa cintamu, kau membayarnya dengan pengorbanan.

Habiburarrahman El Shirozy memberi sedikit nasehat yang dia tuliskan di buku novel suami pada waktu acara bedah buku setahun yang lalu: ”Cinta yang suci melahirkan tindakan yang suci.”  Ya melahirkan. Karena keberadaan cinta tak akan dapat disembunyikan begitu saja. Dia akan melahirkan sebuah tindakan pengorbanan. Sebesar apa pengorbananmu, sebesar itulah cintamu.

Lalu begitu ingin Saya mengajak untuk bertanya ada diri, 

Sebesar apa cinta kita pada Allah? 

Katakanlah: "jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNYA dan dari berjihad di jalan NYA, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.

Jika kita mengaku cinta pada Allah di atas cinta dari yang lainnya, maka apakah pengorbanan yang kita lakukan lebih besar dari pengorbanan pada yang lainnya?

Atau, jangan dulu sampai pada pertanyaan itu, mulailah dari pertanyaan: apa yang sudah kita bayarkan sebagai bukti cinta kita pada Allah? 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar