Senin, 17 Maret 2014

(Anggaplah) Mereka Bernama Abdul Hafidz dan Hasan



Mereka Bernama Abdul Hafizh dan Hasan

            Anggaplah dia bernama Abdul Hafidz. Hari itu tanggal 26 Januari 2010, Saya ada di Cibogo Bogor, di Udiklat PLN sedang melatih Prajab PLN angkatan 16 bersama tim MHMMD lainnya. Hari itu adalah hari terakhir kami di Cibogo setelah tiga hari pertama sejak tanggal 22 Januari kami melatih Prajab jenjang S1, dan tiga hari berikutnya terhitung sejak tanggal 24 Januari kami melatih Prajab D3.
            Hari ketiga adalah sesi sharing, beberapa Prajab dipersilah kan untuk maju ke dapan, dan mengungkapkan apa yang dirasakannya selama mengikuti pelatihan kami, terutama setelah sesi Goal Setting alias sesi Muhasabah di malam harinya. Bebarapa Prajab maju, dan dengan tegarnya mereka menceritakan apa yang mereka rasakan tiga hari ini, dan terutama setelah semalam dibuat menangis oleh renungan kami. Setelah maju lima orang Prajab, berikutnya tidak ada yang mengacungkan tangannya lagi. Lalu Saya teringat semalam... Tanggal 26 Januari dini hari itu, saat muhasabah, Saya sengaja mengintip kelas tempat kami meninggalkan para Prajab merenung. Kami panitia di luar ruangan, meninggalkan para Prajab bergelap gulita hanya dengan sepotng lilin di ruangan kelas, dengan sound yang memadai, kami membacakan puisi dan renungan-renungan lainnya dari luar kelas. Saat itu Saya sengaja mengintip, karena mendengar satu-dua orang suara yang menangis terguguk. Saya penasaran, ini suara tangisan laki-laki, tapi siapa yang menangis se-menyayat ini... Dari tangisan yang seperti ini Saya menangkap rasa sesal yang mendalam, bukan tangisan yang takut karena kami memberi perenungan tentang kematian, bukan pula tangisan sedih karena kami memberi perenungan tentang orang tua... tapi lebih dari itu.. ini adalah tangisan yang keluar dari hati yang rindu pada Tuhannya, lalu dia menyesal karena pernah melalaikan Tuhannya...Sok tau sekali Saya ya... tapi itulah yang Saya tangkap malam itu. Setelah gagal mengintip lewat pintu kelas yang terbuka sedikit, Saya pun mengintip lewat jendela kelas, dan Saya temukan laki-laki yang menangis itu tepat di depan jendela tempat Saya mengintip, (sekali lagi) anggaplah namanya Abdul Hafizh. Selain itu, di depan Abdul Hafizh, adapula yang sesenggukan menangis dengan jenis tangisan seperti dia, anggaplah namanya Hasan.
Rasa penasaran itu terus mengusik hingga pagi. Setelah lima orang Prajab maju dan mengungkapkan apa yang dirasakannya selama tiga hari ini, Saya belum menemukan Abdul Hafizh maupun Hasan maju ke depan pagi itu. Lalu Saya memberanikan di untuk maju ke meja pelatih, dan membisiki asisten pelatih, ”Teh (panggilan ’mbak’ untuk orang Sunda), semalam waktu Saya ngintip, yang nangisnya paling kenceng itu Hafizh, juga Hasan. Coba minta mereka maju...”. Asisten Pelatih yang Saya panggil ’Teteh’ itu pun mengangguk, kemudian menawarkan Abdul Hafizh untuk maju ke depan dan menceritakan apa yang ia rasakan.
Majulah Abdul Hafizh... Saya pun tetap duduk di depan menuntaskan rasa penasaran Saya dengan mendengarkan baik-baik apa yang ia ceritakan... kurang lebih seperti ini jika Saya olah dengan bahasa Saya sendiri...
”Saya, semalam... ketika muhasabah... teringat akan masa lalu Saya... Dulu, Saya ada di lingkungan yang buruk, Saya terpengaruh lingkungan Saya, Saya nyandu...” katanya terbata-bata dengan suara bergetar membendung air mata yang hendak tumpah. Di saat yang sama, ketika seisi mendengarkan kisah Hafizh ini, di kursinya Hasan menangis sesenggukan, tanpa suara. Berkali-kali ia seka air matanya.
”Sampai suatu ketika, Saya diajak untuk ikut sebuah pengajian rutin oleh teman Saya di Daruut Tauhid, Bandung. Saya pun ikut, dan dari sana... Saya belajar lebih mendalami agama ini. Di sana, hati Saya dibukakan Allah, Saya sadar Saya salah, Saya dosa.. Ketika diingatkan tentang orang tua, terutama Ibu.. Saya jadi teringat padanya, pada nasehat-nasehatnya. Ibu Saya adalah orang yang selalu berpesan bahwa kita bisa mati sewaktu-waktu. Ibu di rumah, di lemarinya, sudah menyiapkan selembar kain kafan untuk dirinya. Katanya, supaya tidak perlu membeli kain kafan lagi kalau suatu saat nanti beliau meninggal...”
Hasan di kursinya masih saja terus menangis, sampai Hafizh menyelesaikan ceritanya dan duduk kembali ke tempatnya.
Teteh kemudian memanggil Hasan, dan menawarkan pada Hasan untuk mau menceritakan apa yang dirasakannya pada kami. Tapi Hasan malah menunduk dan terus menangis. Hasan tidak mau... padahal selama tiga hari ini, Hasan terhitung peserta yang paling aktif maju, bertanya dan memimpin teman-temannya, dia juga menjadi ketua kelompok di kelompoknya. Hasan tidak mau, dan kami tidak tau alasannya. Tapi tangisan semalam tangisan sesal... dan ketika Saya berkesempatan memegang riwayat hidup Hafizh dan Hasan, ternyata mereka di kampusnya masing-masing adalah alumni Rohis.
Di tempat Saya duduk, Saya hanya bisa tersenyum melihat Hasan, dan mendengar apa yang baru saja diceritakan Hafizh...
Sahabat Saya Hafizh... dan Hasan... entah seberapa buruk masa jahiliyah kalian, tapi Saya hanya bisa tersenyum bersyukur... Masa lalu Saya juga buruk, jahil, dan mari kita berterimakasih pada Allah karena Allah masih bermurah hati memberi petunjuk-Nya pada kita, bahwa Allah masih menancapkan pada hati kita rasa optimis tentang ampunan Allah, tentang taubat, tentang berhijrah... sehingga itulah yang membuat kita bertahan di jalan-Nya sampai kini. Berapa banyak mereka yang bermaksiat dan berbuat dosa, sadar penuh bahwa itu dosa, tapi mereka masih terus melakukannya – tidak segera meninggalkannya. Kalau Saya boleh mewakili perasaan mereka... ada suatu rasa, yakni putus asa pada ampunan Allah. Buruk, buruk sekalian. Dosa, dosa sekalian. Kotor, kotor sekalian...
Tidak apa... jika petunjuk Allah itu harus kita beli dengan masa lalu yang jahiliyah, mungkin memang inilah jalan yang Allah takdirkan untuk kita, mendapat petunjuk-Nya setelah tersesat jauh, dipanggil-Nya setelah kita berada pada jalan yang bersebrangan dengan jalan-Nya... tapi tidak apa... Allah Maha Berkehendak, dan punya berjuta cara untuk memberi petunjuk-Nya pada manusia...termasuk jika kita termasuk yang diberi petunjuk-Nya dengan cara yang Allah tetapkan...

...Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri...(QS. Ar Ra’d ayat 11)

Itulah kenapa Saya sangat suka dengan aktifitas Saya yang satu ini, Saya bisa bertemu dengan orang-orang yang meng inspirasi seperti mereka.. Kapan-kapan Saya akan ceritakan tentang Pak Kemis, dan Bu Mimin... Pegawai lulusan SD yang berhati emas, yang bertanggung jawab penuh atas DAPUR Udiklat, atau sebutlah... Koki...
Semoga bermanfaat ^_^
Selesai tanggal 5 Januari 2010 8:27 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar